Rabu, 25 Juli 2007

Kapan aku besar, Ayah ?

Suatu ketika, ada sebuah pohon yang rindang. Dibawahnya, tampak dua orang
yang sedang beristirahat. Rupanya, ada seorang pedagang bersama anaknya yang
berteduh disana. Tampaknya mereka kelelahan sehabis berdagang di kota.

Dengan menggelar sehelai tikar, duduklah mereka dibawah pohon yang besar
itu.
Angin semilir membuat sang pedagang mengantuk. Namun, tidak demikian dengan
anaknya yang masih belia. "Ayah, aku ingin bertanya..." terdengar suara yang
mengusik ambang sadar si pedagang.

"Kapan aku besar, Ayah? Kapan aku bisa kuat seperti Ayah, dan bisa membawa
dagangan kita ke kota?" "Sepertinya", lanjut sang bocah, "Aku tak akan bisa
besar.Tubuhku ramping seperti Ibu, berbeda dengan Ayah yang tegap dan
berbadan besar. Kupikir, aku tak akan sanggup memikul dagangan kita jika aku
tetap seperti ini."

Jari tangannya tampak mengores-gores sesuatu di atas tanah. Lalu, ia kembali
melanjutkan, "Bilakah aku bisa punya tubuh besar sepertimu, Ayah?"

Sang Ayah yang awalnya mengantuk, kini tampak siaga. Diambilnya sebuah
benih, di atas tanah yang sebelumnya di kais-kais oleh anaknya. Diangkatnya
benih itu dengan ujung jari telunjuk. Benda itu terlihat seperti kacang yang
kecil, dengan ukuran yang tak sebanding dengan tangan pedagang yang
besar-besar. Kemudian, ia pun mulai berbicara.

"Nak, jangan pernah malu dengan tubuhmu yang kecil. Pandanglah pohon besar
tempat kita berteduh ini. Tahukah kamu, batangnya yang kokoh ini, dulu
berasal dari benih yang sekecil ini. Dahan, ranting dan daunnya, juga
berasal dari benih yang Ayah pegang ini. Akar-akarnya yang tampak menonjol,
juga dari benih ini. Dan kalau kamu menggali tanah ini, ketahuilah,
sulur-sulur akarnya yang menerobos tanah, juga berasal dari tempat yang
sama."

Diperhatikannya wajah sang anak yang tampak tertegun. "Ketahuilah Nak, benih
ini menyimpan segalanya. Benih ini menyimpan batang yang kokoh, dahan yang
rindang, daun yang lebar, juga akar-akar yang kuat. Dan untuk menjadi
sebesar pohon ini, ia hanya membutuhkan angin, air, dan cahaya matahari yang
cukup. Namun jangan lupakan waktu yang membuatnya terus bertumbuh.

Pada mereka semualah benih ini berterima kasih, karena telah melatihnya
menjadi mahluk yang sabar."

"Suatu saat nanti, kamu akan besar Nak. Jangan pernah takut untuk berharap
menjadi besar, karena bisa jadi, itu hanya butuh ketekunan dan kesabaran."

Terlihat senyuman di wajah mereka. Lalu keduanya merebahkan diri, meluruskan
pandangan ke langit lepas, membayangkan berjuta harapan dan impian dalam
benak. Tak lama berselang, keduanya pun terlelap dalam tidur, melepaskan
lelah mereka setelah seharian bekerja.