Minggu, 27 Mei 2007

Selaraskan Hidup Dengan Alam

Oleh :M Arief Soendjoto

Air akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Ini adalah Hukum Alam. Walaupun pada kondisi tertentu (misalnya dalam pemompaan), air bisa dialirkan dari tempat rendah ke tempat tinggi. Semua orang memahami Hukum Alam ini dan tidak membantahnya.
Alam akan bergerak menuju ke kesetimbangan. Ini pun Hukum alam. Namun, berbeda dengan yang pertama, Hukum Alam kedua ini tidak dipahami banyak orang. Anehnya, walaupun tidak paham, orang cenderung membantah hukum ini. Mungkin ini salah satu bukti Firman Allah yang mengatakan, manusia suka berbantah-bantahan.
Benarkah Hukum Alam itu? Bahasan berikut mudahan membuka nurani kita untuk memahami kedua hukum alam tersebut, selanjutnya akan menuntun tindak kita untuk hidup selaras dengan alam.
Ketika membangun rumah di atas lahan berawa, nini datu Urang Banjar mempelajari alam sekitar sehingga mampu memperhitungkan banyak hal secara cermat. Pondasi rumah berupa kayu galam. Tongkat, tiang, sunduk dan gelagar dari kayu ulin. Rumah berbentuk rumah panggung dan yang lebih penting lagi, lantainya berada sekian sentimeter dari permukaan air.
Perhitungan ini memang tidak meleset. Kayu galam termasuk kuat dan awet, apalagi apabila dibenamkan ke dalam tanah. Dalam kondisi terbenam, kayu dari pohon yang memang tumbuh di rawa ini akan berikatan erat dengan lumpur dan air, sehingga mampu menahan beban di atasnya. Kayu ulin diakui sebagai kayu awet untuk lahan berair, baik dalam kondisi di bawah maupun di atas permukaan air. Rumah panggung menjamin kelancaran aliran udara di kolong rumah dan mampu memperlancar pasang surut air. Tinggi muka air maksimum sudah diamati sekian lama, sehingga tidak akan pernah menggenangi lantai rumah atau tidak akan pernah menenggelamkan rumah.
Coba bandingkan kebiasaan nini datu itu dengan segala kegiatan yang dilakukan anak, cucu, cicit dan buyutnya masa kini. Bandingkan pula akibatnya.
Walaupun masih menggunakan galam sebagai pondasi, anak beserta keturunan nini datu sudah mulai meninggalkan (model) rumah panggung. Model rumah atau bangunan beralih ke bukan panggung. Untuk mendukung model demikian, lahan rawa pun diurug.
Rumah bukan panggung pun menjadi simbol status. Dahulu, rumah panggung dipergunakan segala kelas masyarakat. Adanya perbedaan kelas atau status sosial hanya tercirikan dari perbedaan ukuran, ornamen yang menghiasi atau bentuk (arsitektur) rumah. Sekarang, rumah panggung cenderung untuk kelas bawah, sedangkan rumah bukan panggung (yang berdiri di atas tanah urug) untuk kelas menengah ke atas.
Bersamaan dengan gegap gempitanya pembangunan rumah/bangunan bukan panggung dan pengurugan rawa, dampak negatif mulai terasa. Hujan yang turun dalam waktu beberapa jam saja, membuat wilayah sekitar kita banjir. Kita pun akhirnya mengeluh dan memaki.
Apabila berpikir rasional, kita sudah seharusnya sadar bahwa lahan rawa adalah lahan basah. Lahan basah berfungsi menampung air, baik secara permanen (terus menerus) maupun periodik. Di lahan basah air adalah ‘makanan sehari-hari’. Oleh sebab itu, banjir di lahan basah bukan musibah. Banjir merupakan peristiwa biasa.
Terdapat tiga faktor alami yang memungkinkan terjadinya banjir atau meningkatnya permukaan air di lahan rawa. Air pasang terjadi dan selanjutnya menghambat aliran air dari darat ke laut. Hujan turun dengan intensitas tinggi atau intensitas melebihi batas normal. Muara sungai yang merupakan jalan keluar air tersumbat, karena tertumpuknya endapan hasil peristiwa alami.
Nini datu menyadari keberadaan, peran dan fungsi lahan basah serta sudah memperhitungkan ketiga faktor itu. Mereka membuat rumah panggung untuk kehidupan keluarga dan kegiatan sehari-hari. Mereka tidak menebangi pohon di hutan dan tidak membongkar tanah secara sembarangan, sebagai upaya untuk menghindari terjadinya penyumbatan jalan keluar air. Mereka membuat sistem tataair mikro untuk bertani. Mereka memanfaatkan lahan basah sebagai tempat beternak itik, memelihara kerbau rawa atau memanen ikan.
Hal ini sekaligus menunjukkan, nini datu adalah orang adaptif dan mampu menyesuaikan diri terhadap alam. Mereka bersahabat dengan alam. Mereka menyadari sepenuhnya, manusialah yang sesungguhnya harus menyelaraskan diri atau menyerasikan diri dengan alam, bukan sebaliknya. Ibarat hidup di kutub, manusia yang seharusnya menggunakan baju hangat dan bukan sebaliknya, kutub harus memberi kehangatan pada tubuh manusia.
Hal ini berbeda dengan cucu, cicit dan buyutnya. Ketiga keturunan ini melawan alam dan berusaha mengubah alam. Mereka membangun rumah/bangunan bukan panggung serta mengurug lahan rawa, tanpa mempedulikan karakter lahan rawa. Mereka bahkan mempercepat penyumbatan jalan air melalui pembongkaran atau penggalian tanah (seperti penambangan) serta pembuangan limbah (padat) rumah tangga atau limbah pabrik secara sembarangan ke perairan.
Keterbatasan Alam
Banjir sebetulnya merupakan proses ke arah kesetimbangan. Agar mudah memahaminya, kita bisa menganalogikan lahan rawa dengan piring berisi air. Seperti di lahan rawa, kesetimbangan terjadi di dalam piring berisi air. Namun, ketika kita memasukkan sebungkah benda padat (batu misalnya) ke dalamnya, kesetimbangan berubah. Perubahan kesetimbangan ditunjukkan dengan meningginya permukaan air atau tumpahnya air.
Analogi tentang kesetimbangan juga bisa kita berlakukan pada hutan. Seperti diketahui, hutan berperan besar dalam pengaturan siklus air (hidrologi). Dia mampu memperkecil peluang terjadinya banjir pada musim penghujan, mempertahankan air pada musim kemarau, dan memperkecil longsor. Namun kita sering melihat, walaupun ada hutan, banjir dan longsor tetap terjadi. Kondisi demikian sebetulnya alami.
Hutan tidak berfungsi normal apabila, 1) curah hujan sangat tinggi (di atas 100 mm per hari), 2) hujan turun lebih dari tiga hari berturut-turut, 3) kondisi saluran pembuangan (drainase) buruk. Longsor pun akan terjadi, apabila hujan itu jatuh menimpa maka; 1) hutan yang tumbuh di atas lahan berstruktur geologis labil atau 2) hutan yang tumbuh di atas tanah bersolum tipis.
Dari sini kita bisa menarik simpulan umum. Ketika ada gangguan pada alam yang sudah setimbang dan gangguan tersebut melebihi kemampuan yang bisa ditanggung alam, maka alam selalu berusaha mencari atau bergerak ke kesetimbangan baru. Dalam proses pergerakan inilah manusia bisa menjadi korban.
Adanya kemampuan tertentu dan adanya pergerakan ke kesetimbangan baru menunjukkan, alam ada batasnya. Ketika alam memiliki banyak keterbatasan, dalam benak seharusnya sudah terpola jangan melawan alam. Lebih baik kita mempelajari karakter alam dan selanjutnya menyelaraskan hidup dengan alam, daripada menjadi korban kemurkaan alam.
Kita adalah bagian dari alam dan tidak bisa terlepas dari alam. Apa pun yang terjadi pada alam dapat mempengaruhi kita. Kalaupun Allah berfirman, manusia adalah khalifah di muka bumi. Bukan berarti bahwa Allah menyuruh manusia untuk berbuat semaunya.

http://www.indomedia.com/bpost/102004/13/opini/opini1.htm